Perspektif Pesimis dan Optimis Penggunaan Internet
Manusia yang hidup di era digital ini tengah dihadapkan dengan berbagai kecanggihan teknologi new media. Mereka mau tidak mau dipaksa untuk bersentuhan dengan media baru, karena jika tidak mereka akan tertinggal jauh dengan kehidupan masa kini yang sarat akan kecanggihan teknologi. Internet khususnya, sudah mulai menjamur di berbagai lapisan masyarakat. Dari lapisan masyarakat tingkat konglomerat, hingga rakyat biasa. Namun nampaknya masih ada orang yang kesulitan dalam berhadapan dengan media canggih ini. Entah itu faktor akses kah, atau pendidikan, kebudayaan, dan lain-lain. Ini membuktikan bahwa masih banyak masyarakat yang terasing daru dunia virtual. Untuk itu, Ronald E. Rice dan Caroline Haythornthwaite membagi kedalam dua perspektif penggunaan internet yakni perspektif pesimis, dan optimis. Jadi perspektif apakah yang dominan?
Permasalahan utama terkait penggunaan internet
adalah perihal aksesnya. Akses nampaknya masih menjadi permasalahan yang
kompleks di Indonesia, melihat luasnya negara ini sehingga banyak daerah
terpencil yang tertinggal dan sulit dijangkau. Akses biasanya diidentikan
dengan transportasi yang sulit,atau daerah pedalaman yang terisolasi dari
perkotaan. Nah akses yang akan dibahaskan disini adalah akses internet. Di
Indonesia sendiri akses Internet bisa dibilang memang masih sulit dijangkau
oleh beberapa daerah pedalaman.
Jika dilihat dari perspektif optimis, kehadiran
internet dalam kehidupan manusia memang memberikan kemudahan untuk bisa
mengakses informasi (McNutt, 1998). Tetapi pada kenyataannya kemudahan akses
informasi tersebut masih belum merata, khususnya di Indonesia. Kepala humas
kominfo, Ismail Cawindu mengatakan pengguna internet di Indonesia saat ini
hanya mencapai sedikitnya 73 juta atau hanya sekitar 29 persen dari total
populasinya. Ismail menambahkan bahwa orang Indonesia rata-rata mengakses
internet sekitar lima jam setiap harinya melalui laptop atau PC dan sekitar dua
jam melalui perangkat mobile.
Faktor perspektif pesimis dari akses internet di
Indonesia adalah faktor demografis dan budayanya. Masih banyak daerah pedalaman
yang kesulitan menjangkau akses internet. Bahkan tidak sedikit juga suku-suku
pedalaman yang memegang teguh tradisi nenek moyang dan menolak masuknya
teknologi baru kedalam kebudayaan mereka. Hal ini menyebabkan mereka terasing
dari dunia virtual dan perkembangan teknologi new media.
Menurut hasil studi internet Society dan firma
konsultasi TRPC, akses internet di Indonesia menjadi yang terendah di Asia
Tenggara, terutama di daerah pedesaan yang seringkali keberadaan listrik pun
sulit dan terbatas. Direktur regional internet society di Asi Pasifik, Rajnesh
Singh mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi laju penetrasi internet adalah
infrastruktur dan biaya akses internet. Untuk mengatasi permasalahan ini maka
dibutuhkan peningkatan infrastruktur, serta akses internet yang terjangkau dan
murah.
Van Dijk pada tahun 1999 mengungkapkan beberapa
kendala yang mempengaruhi penggunaan new media yang penelitiannya berfokus di
US. Kendala tersebut diantaranya orang tua yang tanpa bakat yang merasa
terintimidasi oleh kehadiran teknologi, sulitnya mengakses internet atau bahkan
tidak memiliki komputer, kurangnya penggunaan secara maksimal, dan kurangnya
keramahan pengguna internet yang tidak menarik.
Di Indonesia sendiri kendala tersebut sedikit
banyak memang terasa, salah satunya faktor orang tua yang merasa terintimidasi
dengan keberadaan new media. Mengapa mereka merasa terintimidasi? Hal ini karena
mereka merasa bahwa teknologi new media bukanlah dunia mereka. Para senior
merasa teknologi new media adalah ranahnya para generasi muda. Tetapi karena
mereka turut hidup di era digital ini, mereka seringkali terpaksa untuk
bersentuhan dengan teknologi new media. Contoh kasus yang terjadi di Indonesia
misalnya untuk mengambil uang pensiunan pun sekarang sudah harus menggunakan sistem
online. Ketika orang tua dipaksa untuk berhadapan dengan new media ini lah maka
terjadi digital divide atau kesenjangan teknologi.
Penggunaan internet juga sedikit banyak
mempengaruhi pertisipasi politik masyarakat dalam sebuah negara. Dengan adanya
internet, dalam perspektif optimis bahwa internet membantu masyarakat lebih
kritis dan mempermudah mereka untuk memberikan opini mereka kepada pemerintah. Ini
merupakan salah satu contoh partisipasi politik aktif selain mencoblos dalam
pemilu, dan lain-lain. Namun di sisi lain ada pendapat yang mengatakan bahwa
opini-opini masyarakat yang tersalur di new media ini bukanlah termasuk
partisipasi politik. Mereka dikatakan sudah berpartisipasi jika melakukan aksi politik
yang nyata, seperti mencalonkan diri sebagai caleg, dan sebagainya. Tetapi
menurut saya, dengan menyalurkan opini dan mengkritisi pemerintah melalui
saluran new media juga termasuk partisipasi politik aktif dari masyarakat.
Dengan semakin liarnya pemberitaan media mengenai kinerja pemerintah, hal ini
membantu transparansi kinerja mereka, dan jika ada kekeliruan, kita sebagai
masyarakat bisa langsung mengkritisinya. Dengan adanya new media kita tidak
perlu bertemu langsung dengan pemerintah, kita bisa menyalurkan opini kita
melalui new media. Ini dikatakan partisipasi karena sedikit banyak memang
mempengaruhi kinerja pemerintah.
Tidak hanya di ranah politik, penggunaan internet
juga memberikan pandangan optimis dan pesimis bagi masyarakat dan komunitas
yang ada di dalamnya. Dari segi optimis, Indonesia yang lekat dengan kebudayaan
gotong royong, kerjasama, dan keramahan, ketika mulai dikenalkan dengan new
media nampaknya mulai kehilangan jati dirinya. Komunitas virtual sepertinya
lebih banyak digemari oleh para kaum muda dibandingkan dengan komunitas organik
atau komunitas yang real.
Hal yang perlu dipertanyakan adalah, mengapa orang
indonesia yang notabene lekat dengan keramahan dan gotong-royong justru tidak
khawatir dengan semakin memudarnya komunitas organik. Sementara di sisi lain
banyak ilmuan Eropa, dan Barat mulai mengkhawatirkan fenomena ini. Padahal
secara budaya saja komunitas organik mereka terbilang tidak seerat orang
Indonesia karena mereka cenderung individualis. Tetapi masyarakat komunitas virtual
pun justru nampaknya lebih banyak diminati oleh orang Indonesia.
Sebagai kesimpulan, pandangan keseluruhan mengenai
penggunaan internet menurut saya sepertinya lebih mengarah ke perspektif
pesimis. Hal ini terlihat dari orang-orang yang mulai salah kaprah dalam
memanfaatkan new media ini. Keberadaan internet bisa dengan mudah mempengaruhi
kualitas komunikasi masyarakatnya, bahkan menghilangkan komunitas organik yang
lekat pada masyarakat tradisional sekalipun. Ini perlu dikhawatirkan karena
bisa saja berpuluh tahun mendatang kehidupan manusia justru dikendalikan oleh
teknologi yang dibuatnya sendiri (Mc Luhan).
Sumber:
“Perspectives
on Internet Use: Access, Involvement, and Interaction” oleh Ronald E. Rice and
Caroline Haythornthwaite
ANT. 2015. Kominfo ungkap Demografi Pengguna Internet di Indonesia.
Larano Cris. 2015. Akses Internet Indonesia Setara dengan Laos.
Komentar
Posting Komentar