Should i sing again?
Hai there,
Its been a long time ya since i
posted my last post for #30HariMenulis. Gara-gara project nya udahan, jadi
nulisnya juga udahan. Tapi berhubung ini lagi ada mood untuk nulis, maka.. Voila!
Akhirnya aku menulis juga. Sebenarnya ini hanya rentetan kalimat tentang
kehidupanku yang sangat tidak perlu untuk dibaca. Isinya? Ya begitu. Tidak ada
pesan moral, kesenangan, kesedihan, atau apa pun yang akan anda dapatkan. Jadi?
Just close this page, and go back to your activity. Im serious.
Berawal dari kemarin malam, ketika
suasana malam yang seharusnya gerah tiba-tiba berubah menjadi dingin, mencekam,
air mata tiba-tiba menggenang di pelupuk mata tanpa disadari hanya karena
secarik tulisan yang menyayat hati. Aku hanya bisa tersenyum. Bagaiman bisa?
Rasanya ingin aku berteriak saat itu juga, karena sungguh, itu sangat
menyakitkan. Tetapi kehadiran seorang makhluk ‘jahat’ disampingku membuatku
menahan semuanya. Apa yang akan dia katakan nanti? Kau menangis hanya karena
hal sepele? Aku tidak mau dia melihatku seperti itu.
Dia berkata “apa kau baik-baik
saja?” Aku mengangguk yakin. Tepatnya berpura-pura yakin. Tidak. Aku sangat
tidak baik-baik saja. Bagaimana bisa aku baik-baik saja setelah penantianku
selama satu tahun ini dan kini aku diabaikan?
Ini adalah untuk kesekian kalinya
sesuatu yang terpendam disini aku coba ungkapkan kepada orang lain, dan itu
gagal. Tak ada yang mau sekedar menghargai sedikit usahaku. Untuk kesekian
kalinya. Dan aku berharap ini adalah yang terakhir. Aku menyadari, ini bukan
untuk diungkapkan. Ini mungkin harus dipendam. Cukup hanya aku sendiri yang
tahu. Cukup hanya empat dinding putih ini yang menjadi penonton setiaku. Aku
menyerah. Selama ini aku sudah berusaha, tetapi nihil. Mungkin ini jawaban dari
semua kegundahanku. Jangan biarkan orang lain tahu!
Setelah aku membaca tulisan itu
kemarin malam, aku mendadak seperti orang tidak waras. Aku menyumpal kedua
telingaku dengan earphone dan memutar lagu dengan volume full lalu kemudian
bernyanyi dengan nafas tertahan. Aku tidak boleh berteriak-teriak disini.
Karena jika iya mungkin anak satu kost dan bahkan ibu kost bisa saja datang
menggebrak pintu kamarku dan mengusirku saat itu juga karena merasa terganggu
dengan kebisinganku di tengah malam. Tetapi rasanya tidak puas jika menyanyi
tidak dengan nada tinggi. Aku sedikit meninggikan suaraku, lalu kemudian
meredamnya kembali. Begitu terus, berulang-ulang. Si ‘jahat’ yang duduk di
sampingku menatapku dengan tatapan aneh.
“aku kalo lagi stress gini.
Nyanyi-nyanyi ngga jelas. Maaf ya.” Kataku. Dia hanya mengangguk pelan.
Iya memang, menyanyi adalah
pelampiasan stress bagiku. Dengan bernyanyi, rasanya beban ikut terbawa keluar
bersama melodi lagu yang aku teriakkan. Meskipun tidak selamanya seperti itu. Kesedihanku
kali ini justru malah karena ‘nyanyi’. Tetapi aku menghadapinya dengan
bernyanyi pula. Selain itu seringkali justru dengan bernyanyi suasana hatiku
yang biasa saja bisa berubah drastis. Dari bahagia menjadi sedih, ataupun
sebaliknya. Ditambah lagi dengan sifatku yang moody-an. Hal ini semakin memicu suasana hatiku terus jungkir
balik. Sekarang tersenyum, sedetik kemudian menangis. Seperti orang gila. h a h
a h a.
Aku memandang kosong ke arah kertas
putih yang tergeletak manis di hadapanku. Seharusnya kertas itu sudah ku isi
dengan materi resume, tugasku. Tetapi aku sama sekali tidak bisa fokus.
Fikiranku malah melayang kemana-mana. Ditambah lagi dengan nafas yang tertahan
menahan air mata untuk tidak menampakan diri.
Si jahat kemudian menepuk pelan pundakku.
“nangis aja ca.” Katanya.
“ngapain nangis? Aku ngga apa-apa
kok.” Kataku sambil berlagak sok tegar. Lagi-lagi bohong. Aku sendiri tidak
tahu untuk apa aku berbohong. Apa salahnya menangis padahal orang dihadapanku
sudah tahu jika aku tidak baik-baik saja. Entahlah. Hanya saja rasanya aku
belum nyaman jika harus menangis dihadapannya.
“aaa cacaaa” si ‘jahat’ tiba-tiba
tertawa kegirangan. Matanya berkilat-kilat memandang layar hp nya. Tidak salah lagi, pasti cowok. Aku
menggumam dalam hati. Aku sudah bisa menebak dari ekspresi wajahnya. Entahlah
apa yang si cowok katakan padanya. Aku tak mau tahu. Toh dia pun sepertinya
tidak akan memberi tahu. Sudahlah, biarkan dia berbahagia sementara aku menahan
diri untuk tidak menangis sedari tadi.
Aku tidak ingin merusak harinya.
Namun sepertinya takdir berkata lain. Mungkin malam itu memang seharusnya kami
tidak berbahagia. Laptopnya yang sedari tadi menemani kami yang berniat baik
mengerjakan tugas tiba-tiba mati. Si ‘jahat’ terpaku seketika. Ia kemudian membolak-balik
laptopnya yang mungkin menurutnya bisa ‘membangunkan’ laptopnya yang mati. Aku
sendiri sibuk dengan fikiranku sendiri yang sedari tadi melayang kemana-mana
terbawa arus lagu yang memenuhi seluruh kepalaku.
Tak berapa lama si ‘jahat’ pamit
kembali ke habitat nya dengan wajah muram durja, 180 derajat berbeda dengan
ekspresi dia saat menerima pesan dari cowok-yang-entah-siapa. Mungkin dia
mendadak muak dan kesal karena laptopnya. Ditambah lagi dengan ‘aku’ yang
mendadak tidak waras. Wajar saja lah kalo dia pergi. Setelah kepergian si ‘jahat’, suasana kamar
menjadi hening. Sebenarnya tidak benar-benar hening, sangat ramai malah karena
kepalaku penuh dengan musik dari lagu yang mengalun melalui earphone yang
kukenakan. Tetapi entah kenapa fikiranku mendadak kosong. Tangis akhirnya
keluar tak berapa lama setelah si ‘jahat’ pulang.
Aku merenung. Mungkin memang ini
jawaban dari segala kegundahanku sebelumnya. Berfikir lebih positif setidaknya
membuat perasaanku lebih baik. Coba bayangkan jika aku memang lolos, mungkin
saja aku malah ogah-ogahan karena malas, atau terlalu semangat hingga
mengabaikan tugas. Ambil hikmahnya saja. Mungkin memang seharusnya sekarang aku
bisa lebih fokus. Tetapi entah mengapa sekarang perasaanku malah semakin hampa.
Aku sepertinya butuh ruang untuk berproses. Tetapi apa? Dimana? Sementara niat
dan konsistensi pun aku belum punya. Ini mungkin namanya proses transisi,
pendewasaan. Seharusnya aku sudah bisa menjawab semua kegundahanku dengan
proses pendewasaan ini. Entahlah. Aku bingung. Semakin bingung karena sudah
terabaikan. Haruskah aku menunggu satu tahun lagi?
Pwt, Diatas permadani
berwarna-warni.
P.S: Si ‘jahat’ itu tidak
benar-benar jahat loh. Hanya sebutan saja karena dia terkadang terlalu jahat
sama orang, terlalu jujur, nyablak gitu sampe kata-katanya mengiris hati. But i
know she didnt mean it. Dia hanya berusaha untuk tidak munafik, berbicara
dibelakang orang lain. And for me, she’s brave enough to take the risk, doesnt
she?
puk puk puk masih ada remoef ca
BalasHapusangel~