Virtual vs Organik


Media akhir-akhir ini semakin banyak diperbincangkan, entah itu dari segi positif kah atau bahkan negatifnya. Khususnya media komunikasi yang mengalami perkembangan yang cukup pesat akhir-akhir ini dan secara perlahan mulai mengubah sistem komunikasi yang ada di masyarakat. Lahirnya teknologi new media seperti media sosial dan lain-lain yang memberikan dampak positif berupa kemudahan bagi manusia untuk bertukar pesan dengan orang lain tanpa menganal batas ruang dan waktu yakni melalui dunia maya, pada kenyataannya pun memberikan konsekuensi yang cukup signifikan.

Dalam ilmu teknologi komunikasi, komunikasi melalui dunia maya dikenal dengan sebutan komunikasi virtual. Istilah ini dikenalkan oleh Rheingold dalam bukunya The Virtual Community Homesteading on the Electronic Frontier (2000). Rheingold menjelaskan dalam bukunya tentang kehidupan cyberspace atau kehidupan di dunia maya. Orang-orang yang tergabung dalam dunia maya ini dinamakan komunitas virtual. Komunitas virtual adalah masyarakat yang melakukan aktivitas sehari-hari seperti berkomunikasi, berjual-beli, dan lain-lain tanpa harus bertemu tatap muka atau bertemu secara fisik untuk melakukan komunikasi. Cyber-community ini memiliki sistem bersama, norma-norma, dan aturan-aturan yang disepakati bersama oleh komunitas itu sendiri. Rheingold menambahkan bahwa komunitas virtual merupakan komunitas yang unik, karena mereka terhubung dengan melalui mesin, bukan secara face- to-face.

Di sisi lain, ada istilah komunitas Organik, dimana komunitas ini merupakan kebalikan dari komunitas virtual. Pada komunitas organik ini, manusia melakukan aktivitas sehari-hari dan berkomunikasi dengan orang lain secara langsung atau face-to-face. Contoh komunitas organik misalnya komunitas pecinta alam, organisasi, dan lain-lain yang melakukan diskusi secara langsung tanpa perlu bantuan mesin atau dunia maya.  

Sadar atau tidak disadari, ketika seseorang bergabung dengan dunia maya dan menjadi bagian dari komunitas virtual, maka ia telah membentuk identitas baru bagi dirinya yakni identitas virtual. Dia bisa menjadi seseorang yang baru dan berbeda dari diri aslinya di dalam komunitas virtual tersebut. Jika kita mendengar sekilas tentang dunia maya mungkin hal ini sering dikaitkan dengan dunia khayalan atau dunia imajinasi yang berarti apa-apa yang ada di dalamnya itu tidak nyata. Tetapi menurut Rheingold, komunikasi virtual ini sendiri merupakan sesuatu yang bukan sekedar imajinasi semata, namun sesuatu yang memang nyata dengan menggunakan bantuan cyberspace. Menurut saya sendiri, komunitas virtual memang tidak semata-mata hanya dunia khayal saja. Kita mungkin memang tidak berhadapan secara langsung atau face-to-face dengan lawan bicara kita , tetapi seringkali apa yang ada di dunia maya itu menghasilkan komunikasi yang nyata. Misalnya ketika kita berencana untuk mengadakan gathering dengan komunitas virtual kita, maka komunikasi yang terjadi selanjutnya adalah komunikasi yang nyata.

Lalu apakah ketika komunitas virtual ini melakukan gathering secara langsung maka dia secara otomatis berubah menjadi komunitas organik? Jawabannya tidak. Ini sudah dibuktikan melalui diskusi pada saat perkuliahan saya di mata kuliah Teknologi Komunikasi. Menurut diskusi tersebut, komunitas virtual tidak serta merta menjadi komunitas organik ketika mereka bertemu secara langsung, tetapi mereka tetap menjadi komunitas virtual. Hal ini dilihat dari intensitas komunikasi mereka yang lebih sering dilakukan di dunia maya. Komunitas organik, menurut diskusi pada saat itu adalah komunitas yang melakukan diskusi secara tatap muka dengan intensitas yang sering, atau berulang-ulang. Misalnya organisasi kampus yang mengadakan rapat rutin, dan lain-lain. Sementara komunitas virtual biasanya hanya melakukan gathering atau pertemuan secara langsung hanya beberapa kali saja, tidak berulang-ulang. Misalnya saja gathering yang cukup menjadi banyak perbincangan komunitas virtual baru-baru ini –dalam hal ini instagram- yakni World Wide Insta Meet yang berlangsung di beberapa kota. Mereka memang melakukan pertemuan secara langsung sesama komunitas pengguna instagram, tetapi mereka tetap menjadi komunitas virtual karena mereka masih mengandalkan mesin atau dunia maya untuk berkomunikasi satu sama lainnya.

Melihat semakin digandrunginya media sosial yang merupakan media komunikasi bagi komunitas virtual, maka sistem komunikasi manusia pun perlahan-lahan berubah. Saya pernah berdiskusi dengan teman saya tentang hal ini. Dia mempertanyakan tentang rapat-rapat di beberapa kegiatan kampus yang seringkali ngaret dan bahkan dibatalkan secara mendadak. Saat itu kami berdiskusi tentang penyebab dari hal ini dan mempertanyakan tentang bagaimana orang zaman dulu –ketika belum ada gadget dan komunitas virtual- bisa melakukan pertemuan tanpa ngaret dan tanpa adanya pembatalan yang mendadak. Ini karena mereka tidak memiliki gadget atau media komunikasi virtual, jadi ketika mereka ingin membatalkan atau bahkan terlambat hadir, maka otomatis dia mau tidak mau harus datang ke tempat pertemuan. Berbeda dengan zaman sekarang ketika setiap orang memiliki gadget. Kita dengan mudahnya bisa datang terlambat, dan bahkan membatalkan pertemuan secara tiba-tiba karena dengan adanya gadget kita bisa memberitahukan teman kita atau yang kita ajak untuk bertemu, secara cepat.  Apakah ini berarti dampak positif atau negatif dari adanya komunikasi virtual?

Ada hal menarik lainnya yang saya dapatkan saat perkuliaahan Teknologi Komunikasi, pada hari rabu lalu yakni apakah manusia masih tertarik dengan komunikasi secara langsung atau justru sama sekali tidak dan lebih tertarik dengan komunikasi dunia maya? Ini merupakan pertanyaan yang sangat perlu untuk dikaji dan diperhatikan secara serius melihat dari semakin dikenal dan banyaknya komunitas masyarakat media sosial bahkan hingga kalangan masyarakat bawah. Tidak perlu susah-susah untuk membuktikan permasalahan ini. Rasa-rasanya justru saya melihat dari kejadian sehari-hari di sekeliling saya dan kejadian tersebut secara tidak langsung menjawab rasa penasaran saya tentang pertanyaan tadi. Jawabannya mungkin, iya.

Setiap orang yang terlahir dan hidup di zaman sekarang ini, mungkin sebenarnya memiliki kekhawatiran yang serupa. Saya sendiri merasakan hal yang sama. Terkadang saya lebih suka berdiskusi melalui media sosial daripada bertemu secara langsung. Tidak kah ini menyebabkan budaya malas? Orang jadi malas untuk bertemu secara langsung karena adanya media sosial yang bisa menghubungkan mereka tanpa harus pergi mandi, bersiap-siap, dandan, kemudian pergi untuk bertemu dengan orang lain. Contoh kasus sehari-hari yang pasti banyak ditemui di berbagai tempat, khususnya tempat nongkrong anak-anak muda dimana ketika mereka secara fisik sedang berhadap-hadapan, namun tatapan mereka tertuju pada gadget masing-masing. Ini secara tidak langsung membuktikan bahwa manusia sudah mulai tidak tertarik dengan komunikasi organik atau komunikasi secara langsung. Memang mungkin masih banyak komunitas organik yang menjalankan komunikasi secara langsung tanpa bantuan media, namun tidak dapat dipungkiri pertemuan yang mereka rencanakan pun sedikit banyak dibantu dengan adanya media. Dampak jangka panjang yang terjadi nantinya mungkin saja manusia sudah mulai tidak tertarik lagi dengan komunikasi langsung. Ini akan menimbulkan budaya individualis, meskipun mungkin nilai-nilai tradisional dan nilai kolektifitas ada di dalam dunia maya. Tetapi, bukankan dunia maya itu tidak benar-benar nyata? Lalu bagaimana kehidupan manusia berpuluh tahun mendatang? Jawabannya ada di tangan kita sendiri, memilih komunitas virtual, ataukah organik? 


Sumber:

Perkuliahan Teknologi Komunikasi Fisip Unsoed (25 Maret 2015)
Chapter 2 Creating Community with Media : History, Theories and ScientifiC Investigations” oleh Nicholas W. Jankowski 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Thoughts About Palestine

Cuek itu perlu

Mood breaker!