Aku dan Masa Laluku


Beberapa waktu yang lalu aku mengikuti sesi meditasi sederhana dalam sebuah acara. Bukan meditasi juga sik. Apaan ya namanya. Pokoknya yang disuruh merem, terus pembawa acaranya nyuruh kita membayangkan hal-hal yang menyedihkan sampai akhirnya nangis massal. Semacam ESQ-ESQ-an. Dulu sempet mempan nangis dengan cara di-beginiin, tapi beberapa tahun belakangan, malah ngantuk dan greget buat buka mata setiap ada sesi muhasabah diri seperti ini.

Berbeda dengan sesi terakhir kemarin. Entah karena lagi gundah tapi nggak dirasa, atau karena udah lama nggak nangis, sesi muhasabah-diri-ala-ala itu malah bikin mbrebes mili. Serius. Gak ada air mata menggenang lama trus netes satu-satu, tapi langsung mbrodol nangis bahkan ketika otak memerintah “eh ngapa lu nangis sih elah. Ga usah”. Atau mungkin, kali ini hati yang memerintah (?). Gak tau juga sih secara keilmuan biologis apa bisa begitu, atau gimana entah. Tapi jujur itu pertama kalinya aku nangis lagi sampai se-sakit itu setelah sekian lama-lama-lama sekali nggak nangis kaya begitu.

Ngerti nggak sih, kek nangis yang air mata nggak berhenti-berhenti gitu dan ketika berusaha di tahan kok malah makin deres ngalirnya sampai keluar-keluar lewat idung juga?

Then I asked myself, what the hell makes you hurt so much like that?

Tangisku berawal ketika si pembawa acara masuk ke sesi di mana peserta diajak untuk bertemu dengan masa lalunya. Tepatnya masa kecilnya. Pas dia bilang “saat ini bayangkan kamu sedang berhadapan dengan dirimu ketika kamu kecil”. Di situ lah momen dheg terjadi. Okay. I saw my little me. Kebayang di kepala adalah wajah mungil dengan senyuman di bibirnya. Aku melihatnya, dan seketika seperti beneran terhipnotis kalau dia benar-benar ada dihadapanku.

Seketika, momen itu juga membawaku ke ingatan-ingatan masa laluku. Sayangnya, yang aku ingat justru masa-masa menyakitkan yang harus kuhadapi. Bukan aku. Lebih tepatnya yang harus dihadapi seorang anak kecil tak tau apa-apa yang terpaksa menelan kenyataan menyakitkan di sekitarnya. Dan gadis kecil itu adalah.. aku.

Sepertinya ini terdengar terlalu dramatis memang tapi ya begitulah pokoknya.

Di situ aku menyadari, kalau aku belum sembuh dari sakitnya masa laluku. Aku lalu menyadari, aku punya semacam trauma masa lalu. Masalah keluarga, bullying, masalah percintaan, semuanya. 

That time, when you finally aware with your mental issue but at the same time you realize it makes you weak.

Aku bukan ingin mendiagnosis diri dengan mental illness macam-macam. Depresi, stres, gangguan kecemasan, mungkin memang nggak sampai situ. Tapi aku tersadar kalau kondisiku sekarang sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di masa lalu yang menyakitkan buatku, hingga menjadikanku “lemah”.

Aku dulu sering di-bully karena penampilan fisikku yang nggak “ideal” seperti standar kecantikan orang-orang. Ketika SD dan SMP tepatnya. Aku memang nggak mendapatkan perlakuan fisik yang menyakitkan, tapi kata-kata verbal yang merendahkan datang bertubi-tubi. Tak hanya dari teman orang lain (aku bahkan masih tak sudi menyebut mereka teman), bahkan keluarga sendiri.  Itu terpatri dalam ingatan, sampai membuatku membenci diriku sendiri. Terlalu berlebihan mengkritik diri dan menjadi people pleaser. Sangat takut dengan penolakan, dan memilih untuk menyakiti diri sendiri daripada orang lain. Memilih untuk mengisolasi diri daripada berada di lingkungan sosial yang masih asing. Bahkan, lingkar pertemanan ku akhirnya kubuat sekecil mungkin. Aku lebih memilih sendirian daripada bersama banyak orang yang bisa berpotensi membuatku sakit hati.

Bukan hanya masalah bullying. Masalah keluarga, sampai hubungan asmara, semua. Semua meninggalkan luka di masing-masing cerita. Dan ini harus dihadapi oleh diriku yang dulu sama sekali tak tau apa-apa.

Semakin hari aku semakin sadar kalau kesehatan mentalku nggak baik-baik saja, karena aku belum bisa berdamai dengan masa laluku. Dan semakin aku sadar dengan kondisiku sendiri, semakin pula aku menyadari kalau diriku sangat lemah. Kata-kata positif selama ini selalu berhasil melawan hal-hal buruk di masa laluku.

Kata-kata mereka menyakitkan. Apakah mereka benar, kalau aku memang segitu nggak berharganya?
Nggak kok. Mereka hanya anak kecil, belum dewasa. Mereka hanya bercanda. Udah, lupain aja.
Kenapa harus bohong? Kenapa? Apa aku memang segitu nggak pentingnya?
Nggak kok. Dia berbohong untuk kebaikanmu. Dia berbohong agar kamu nggak tersakiti. Udah, maafin aja.
Kenapa ini terjadi pada aku? Kenapa hidupku begitu menderita?
Nggak kok. Lihat diluar sana, banyak yang lebih menderita darimu. Kelaparan, ketakutan, tersiksa. Bersyukurlah.
Why nobody loves me? Apa aku sebegitu jeleknya?
Nggak kok, kamu ingat ada seseorang yang diam-diam menyukaimu? Just wait for the right time, the right person will come to you.

Secara nggak sadar, kata-kata “positif” ini justru membuatku buta dengan realitas yang sebenarnya terjadi. Abaiku tentang kondisiku sendiri, membuatku sebodo amat dengan sakitnya masa lalu dan membuatku tersugesti menjadi perempuan sok independen yang sok tegar.

Sekarang, justru ketika aku sadar dengan kesehatan mentalku sendiri, ketika aku berhasil menemukan ‘why’ dari masalah-masalahku saat ini, justru aku melihat diriku sangat-sangat-sangat lemah.

Hidupku mungkin memang nggak se-buruk kehidupan orang-orang di sinetron, seperti disiksa ibu tiri, di bully macem Geum Jandi, atau difitnah keji oleh tetangga yang iri. Tapi, ini bukan ajang membanding-bandingkan kehidupan bukan? Bukan untuk membandingkan hidup mana paling menderita dan siapa yang paling kuat menahannya, kan? Kita hanya bertumbuh dengan kisah menyakitkan yang berbeda-beda. Itu saja.

Aku berharap, dengan semakin sadarnya aku pada kondisiku saat ini, aku semakin bisa menerima dan memaafkan masa laluku termasuk mereka yang pernah menyakitiku. Masa lalu yang menyakitkan, semua orang pasti memilikinya kan? Tak apa, ca. Ingatan akan masa lalu yang nggak menyenangkan, akan membantu mendewasakan. Semoga.


If it’s too hard to forgive, then just give.
 Let go of the weight that won’t let you live
- Gumball Watterson-


Komentar

  1. Masa lalu yang menyakitkan emang selalu jadi kenangan buruk di masa depan. Satu-satunya yang bisa dilakukan cuma ikhlas. Kalo suatu hari teringat lagi, kamu boleh nangis sepuasnya. Tapi bukan berarti kenangan buruk itu bisa menyeretmu kembali ke titik itu.

    Bahagialah. Ikhlaskan pelan-pelan ya ca. Peluuuuukkk! Semangat! :3

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Thoughts About Palestine

Cuek itu perlu

Mood breaker!