Another Best Day


Maaf..
Aku membanting keras handphoneku ke lantai setelah membaca pesan itu darimu. Lagi-lagi. Aku marah. Sangat marah. Tapi separuh hatiku luluh. Entah untuk keberapa kalinya kau minta maaf, dan aku memaafkanmu dalam sebulan ini. Kau tidak hadir di Hari kelulusanku,aku memaafkanmu. Kau lupa hari ulang tahunku, yang mungkin menurutmu sepele tapi itu penting untukku, aku memaafkanmu. Membiarkanmu mengarang segala macam alasan karena aku telah menunggu berjam-jam hanya untuk bertemu denganmu? Aku memaafkanmu.
Apa lagi sekarang? Aku memergokimu bergandengan tangan mesra dengan Eli, sahabatku sendiri. Kau benar-benar keterlaluan. Kenapa kau berubah seperti ini? Tangisku pecah. Aku marah dengan diriku sendiri. Bagaimana bisa aku selama sebulan ini, begitu bodoh memaafkan tingkah laku fatalmu. Dan bagaimana bisa separuh hatiku masih saja luluh dengan sepatah kata maaf darimu. Aku tidak mengerti.
Aku sudah benar-benar lelah. Kau bukan orang seperti ini setauku. Hubungan kita sudah berjalan hampir 5tahun, dan sebulan ini kau berubah drastis seakan-akan kehilangan jati dirimu sendiri. Aku sering memikirkan dimana letak kesalahanku? Apa akhir-akhir ini aku sering membuatmu kecewa? Sepertinya tidak. Lalu apa? Sebenarnya apa yang terjadi dengannmu akhir-akhir ini?
Tak berapa lama. Kau datang, mengetuk pelan pintu kamarku.
“Res? Kau didalam? Buka pintunya sayang.”
Apa kau bilang? Aku mengeraskan volume earphone yang tertancap ditelingaku. Lagu remember December dari Demi Lovato menggema memenuhi kepalaku. Apa tadi? Sayang? Bohong. Cukup. Untuk kali ini saja, jangan lagi luluh oleh kata-katanya. Aku menggelengkan kepalaku. Cukup sampai disini.
Samar-samar aku masih bisa mendengar ketukan pintu di sela-sela lagu Demi Lovato. Aku tidak menghiraukannya. Aku mulai larut dengan lagu Demi di telingaku yang berdentum keras. Tunggu. Lagu ini? Aku memutar kembali memori indahku denganmu. Lagu ini mengingatkanku pada pertemuan pertama kita di bis saat itu.
***
 Pertemuan yang sangat konyol. Saat itu kita dipertemukan didalam sebuah bis. Ketika kau akan turun dari bis, dan aku berlari terbirit-birit mengejar bis yang kau tumpangi. Saat itu lagu ini remember December mengiang di earphoneku. Karena aku terlalu terburu-buru, aku bertabrakan denganmu yang juga terburu-buru turun. Aku menabrak bahumu dan saking kerasnya membuat badanku hampir terpental kebelakang jika aku tidak memegang lenganmu.
“Eh. Maaf!” Kataku.
“Engga engga. Salah saya tadi saya ngga lihat mba nya mau naik. Jadi maaf sekali lagi maaf” katamu. Menyunggingkan senyum maut indahmu. Aku terdiam beberapa detik, terpesona dengan senyuman itu.
“Engga kok. Aku yang terlalu terburu-buru tadi.” Kataku lagi. Kau mengelak lagi. terus seperti itu hingga akhirnya supir bis mulai bertindak, menyela atau lebih tepatnya membentak kita. Kau akhirnya mundur, mempersilahkanku masuk lebih dulu. Tak berapa lama, bis melaju. Tetapi setelah itu kau malah mematung memperhatikanku dengan tatapan aneh. Aku mengerutkan keningku.
“Masnya?” kataku. Kau terdiam. Senyum indahmu hilang, berganti dengan ekspresi aneh. Seperti kasian melihatku. Matamu tak berkutik dariku.
“Ehem” aku berdehem lalu melambai-lambaikan tanganku didepan wajahmu. Kau mengedip-ngedipkan matamu,seakan baru terbangun dari tidurmu.
“eh? Iya kenapa?” kau terlihat bingung. Aku masih ingat baju yang kau kenakan saat itu. Kemeja lengan pendek berwarna biru gelap, jins abu-abu, dan tas ransel berwarna coklat tua.
“bukannya mau turun ya tadi?” kataku. Kau melihat sekeliling, terlihat kebingungan. Kau lalu menghampiri pak supir untuk berhenti. Supir berkumis tebal itu mendelik ke arahmu karena jengkel. Namun karena kau menawarkan selembar uang sepuluh ribu dari saku celanamu, pak supir akhirnya menghentikan laju bisnya.
“maaf soal kejadian tadi. Akan aku ganti semua. Aku sedang terburu-buru. Jadi, tunggu aku ditempat dan waktu yang sama. Besok, oke? Sekali lagi maaf” katamu. Kau lalu berlari turun dari bis.
Aku berdiri mematung. Apa? Ganti? Apa yang ingin kau ganti? Aku lalu memandangimu dari bis. Pertemuan yang mengesankan denganmu, pria dengan senyum manisnya. Pertemuan indah di siang hari yang panas, dan meninggalkan denyutan kecil di keningku. Tunggu? Berdenyut? Astaga. Keningku benjol. Pantas saja kau memandangiku dengan tatapan itu tadi. Sekeras apakah tulang bahumu? Aku hanya bertabrakan dengan bahumu. Tapi bisa benjol seperti ini?
Itu tadi awal pertemuan kita. Hari berikutnya kau menepati janjimu. Kita bertemu di tempat yang sama, dan kau mengobati benjol di keningku dengan kotak p3k yang kau bawa di ransel coklatmu. Kau laki-laki yang baik. Dari pertama bertemu, aku sudah sangat tertarik dengan senyum indahmu. Ditambah lagi dengan sifatmu yang ternyata sangat ramah. Hari-hari berikutnya kita sering bertemu di tempat yang sama dan saling bercengkrama.
Berbulan-bulan kebersamaan kita, kau akhirnya menyatakan perasaanmu. Di halte itu. Aku ingat sekali hari itu kau mengenakan baju yang sama persis dengan apa yang kau kenakan saat pertemuan pertama kita. Dan aku masih ingat saat itu kau membawa kotak p3k di tanganmu. Aku reflek menyentuh keningku. Aku tidak benjol bukan? Kau tertawa. Kau lalu mendekatiku lalu berlutut dihadapanku.
“res, jadi pacarku yuk?” satu kalimat keluar mulus dari bibirmu. Lagi-lagi kau menyunggingkan senyuman mautmu. Aku mengangguk yakin. Kau lalu memelukku. Semua orang di sekitar halte yang awalnya memandang aneh ke arah kita, mereka lalu bertepuk tangan. Jujur, hari itu adalah hari paling bahagia seumur hidupku. Kau lalu membuka kotak p3k yang kau bawa. Isinya? Itu benar-benar diluar dugaanku. Isinya sebuah kalung perak cantik bertuliskan namaku dan namamu, RessaFey.
***
Memoriku tiba-tiba kembali ke masa kini. Kalung? Aku meraba-raba leherku. Kalung darimu masih melingkar di leherku. Setelah apa yang sebulan ini kau lakukan padaku, ingin rasanya aku menarik paksa kalung itu dari leherku dan membuangnya sejauh mungkin. Tapi sangat berat rasanya. Air mataku kembali mengalir. Kemana kau Fey? Aku mohon kembalilah.
Lagu Demi Lovato yang mengiang ditelingaku dan membawa imajinasiku melayang ke masa lalu kita, berhenti berputar. Aku melepas earphoneku. Setelah falshback tadi, aku sudah membulatkan tekadku untuk menghadapimu dan mengakhiri semuanya denganmu. Aku lelah Fey. Tetapi saat aku membalikkan badanku..
Aku terkesiap. Kau sudah berdiri disana, dibelakangku. Mengenakan baju yang sama persis dengan yang kau kenakan saat pertemuan pertama kita, dan saat hari paling bahagia seumur hidupku itu, saat kau menyatakan perasaanmu. Kemeja lengan pendek berwarna biru gelap, jins abu-abu, dan tas ransel berwarna coklat tua yang sudah mulai kusam.
 “Res?” katamu. Aku terdiam. Kata-kata perpisahan yang sudah kurangkai dalam otakku tadi tiba-tiba tersendat. Mulutku tiba-tiba terkunci.
Kau menghampiriku, mengusap pipiku yang basah karena tangisanku berhari-hari ini karena ulahmu. Otakku memerintah untuk mendorong tubuhmu menjauh. Tetapi hatiku berkata lain. Hatiku mengatakan untuk tetap diam, merasakan kehangatan yang mengalir dari sentuhan tanganmu. Ressa! Come back to your sense!
“maaf..” katamu.
Aku bisa melihat dari ekspresimu, kau begitu menyesal. Tetapi mau sampai kapan kau terus seperti ini? Meminta maaf dan terus melakukan kesalahan lainnya. Aku tahu kesalahanmu hanya terjadi sebulan ini. Tetapi entah mengapa logikaku terus mendorongku untuk melepas semuanya. Melepasmu, tepatnya. Padahal hatiku berkata lain. Aku ingin sekali memaafkanmu dan memberikan kesempatan kesekian kalinya untukmu. Hati dan logikaku berperang.
Kau lalu tiba-tiba berlutut dihadapanku. Apa lagi sekarang? Minta maaf dengan berlutut? Aku tidak peduli dengan apapun yang akan kau lakukan. Aku sudah terlanjur kecewa. Dan aku sudah memutuskan untuk menggunakan logikaku, melepasmu.
“cukup Fey. Mulai hari ini, aku mau kita...” kata-kataku terhenti saat tiba-tiba kau mengeluarkan sesuatu dari saku celanamu. Sebuah kotak kecil berwarna biru muda, warna favoritku. Aku terdiam. Kau tersenyum. Astaga, senyum itu lagi.
Aku mengerutkan keningku. Kau lalu membuka kotak biru muda itu. Sebuah cincin manis bertengger disana. Aku kebingungan. Apa ini?
“will you marry me?”
Aku terkesiap. Jantungku seakan berhenti berdegup. Setelah kesalahan fatal yang kau lakukan hingga membuatku marah, benar-benar marah. Kau malah melamarku? Bagaimana bisa kau melamarku dengan keadaan seperti ini?
“itu semua skenario, res” suara yang sudah tidak asing ditelingaku tiba-tiba muncul dari arah pintu kamarku, Eli, sahabatku. Tidak, bukan. Penghianat tepatnya. Dia tidak datang sendiri. Mama, Papa ada dibelakang Eli. Mereka tersenyum kepadaku yang terlihat semakin kebingungan.
“Sebulan ini, semua skenarionya Fey. Surprise Propose gitu katanya. Aku sama Fey ngga ada hubungan apa-apa. Orang kaya Fey, ngga akan pernah mungkin main-main dibelakang kamu, Res. Dia sayang kamu, Cuma kamu” Eli tersenyum.
Aku menoleh kearahmu. Kau tersenyum. Aku masih terdiam. Bingung. Apa yang harus aku lakukan? Mengucapkan selamat karena skenariomu berhasil? Atau marah karena kau sudah mempermainkanku?
“i love you. Will you marry me, Ressa?” katamu lagi.
Lututku mendadak lemas. Aku terjatuh. Dan kau dengan sigap menahanku. Tangisku pecah dibahumu. Aku terdiam sejenak. Kau menatapku. Aku tak mengeluarkan sepatah katapun, aku hanya mengangguk dengan yakin tanpa menunggu penjelasan logis dari otakku. Akhirnya, perang batin antara logika dan hatiku berakhir, hatiku menang. Cinta tulusku untukmu berhasil mengalahkan egoku untuk melepasmu.
Aku tiba-tiba melupakan semua kesalahnmu sebulan ini yang ternyata skenario belaka. Hari ini, hari yang sudah kuduga akan menjadi hari perpisahan kita dan menjadi hari yang paling kubenci seumur hidupku, ternyata dugaanku salah. Hari ini berubah menjadi hari paling bahagia seumur hidupku. Hari paling bahagia lainnya setelah hari disaat kau menyatakan perasaanmu saat di halte itu. Dan aku percaya, hari berikutnya dan berikutnya akan menjadi another best day, jika aku bersamamu.  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Thoughts About Palestine

Cuek itu perlu

Mood breaker!